Tinjauan Sosiologi Sastra Film Pendek Anak-anak Lumpur

Judul: Kegetiran Hidup Anak-anak Sidoarjo dalam Naskah Skenario dan Film Pendek Anak-anak Lumpur

PEMBAHASAN

Profil Film

  • Judul : Anak-anak Lumpur
  • Durasi: 23 menit
  • Bahasa: Jawa
  • Tahun Produksi: 2009
  • Genre: Anak-anak, Drama, HAM (Human Rights), Lingkungan (Environment), Fiksi
  • Sutradara: Danial Rifki
  • Produser: Ritvima Definta Arliccan
  • Penulis Skenario: Perdana Kartawiyudha
  • Sinematografer: Dodon Ramadhan
  • Penata Artistik: Antoinette Louise
  • Penata Suara: Rizkia Ayyub dan Clauss Marinez
  • Editor: Astari Sri Purnomosari
  • Publikasi: Perdana Kartawiyudha

Sinopsis

Film “Anak-anak Lumpur” mengisahkan perjalanan hidup tiga orang anak yang menjadi korban meluapnya lumpur panas akibat kecerobohan PT. Lapindo Brantas. Cerita Anak-anak Lumpur bertumpu pada Rafi sebagai tokoh utama. Bocah berusia sepuluh tahun ini adalah salah satu dari ribuan korban yang terkena dampak semburan Lumpur Lapindo pada 29 Mei 2006 di daerah Porong, Sidoarjo, Jawa Timur.

Kondisi perekonomian keluarga Rafi tidak tak bagus. Ayahnya sudah meninggal sehingga ibunya menjadi tulang punggung keluarga. Hal ini makin diperparah karena penyakit asma ibunya kerap kambuh dan makin memburuk akibat kondisi udara yang tak layak di sekitar semburan lumpur. Demi kesehatan ibunya, Rafi harus mengayuh sepeda jauh ke luar kampungnya untuk menebus obat ke apotek dengan ditemani dua sahabat karibnya.

Kenyataan pahit akhirnya harus diterima Rafi, satu per satu  meninggalkannya. Di akhir cerita, Rafi meluapkan kekesalannya sambil memandang luapan lumpur panas dan melempar bambu pembatas makam ayahnya ke luapan lumpur panas.

Bentuk Penulisan Skenario

Bentuk penulisan skenario dalam film pendek “Anak-anak Lumpur” menggunakan teknik struktur tiga babak. Hal-hal yang menandakannya akan dirinci sebagai berikut:

  • Babak I
    1. Perkenalan tokoh utama, yakni Rafi, Wulan, dan Yusman
    2. Sinema mulai memperlihatkan masalah utama yaitu menyangkut perjuangan hidup Rafi, Wulan, dan Yusman yang bertahan hidup di tengah bencana. Mereka masih bisa menikmati hidup seperti biasanya walaupun tempat tinggal mereka lenyap ditelan luapan lumpur.
    3. Cerita bergulir ke beberapa peristiwa yang membawa tokoh masuk ke permasalahan, meliputi:
      • Kondisi ibu Rafi yang dibawa ke puskesmas membuat Rafi harus berjuang menebus obat ke apotek di luar wilayah tempat tinggalnya.
      • Rumah Wulan dihancurkan oleh penjarah untuk diambil batu batanya.
  • Babak II
    1. Adanya problem yang dihadapi tokoh utama
      • Rafi, Wulan, dan Yusman melawan para penjarah yang mencuri batu bata rumah Wulan.
      • Sepeda Yusman dicuri oleh Bocah Gendut yang membalas dendam kepada mereka bertiga.
      • Kebimbangan Rafi antara membantu Yusman mengejar pencuri, atau kembali ke puskesmas untuk menyerahkan obat ibu.
  • Babak III
    1. Hasil perjuangan tokoh utama
      • Rafi menyesal karena terlambat menyerahkan obat kepada ibu
      • Rafi kehilangan orang-orang tersayang
        • Ibu Rafi meninggal
        • Nenek Rafi menyesali keteledoran Rafi
        • Kedua sahabat karibnya enggan menemani Rafi lagi
      • Kekesalan Rafi terhadap bencana yang menimpanya
      • Rafi hanya bisa meluapkan emosinya dengan melempar bambu ke luapan lumpur panas.

Analisis Aspek Visual (Sinematografis)

  • IKON SPASIAL
  1. Unit Visual : Aksi demonstran di dekat tanggul lumpur Lapindo  menggambarkan ekspresi masyarakat terhadap hak-hak atas kerugian yang tidak diperhatikan oleh penguasa.
  2. Unit Gerak : Aksi demonstran yang diam di tempat (tanggul lumpur lapindo) menandakan kebungkaman mereka terhadap ketimpangan keadilan yang mereka alami.
  3. Unit Audio : Gemuruh suara demonstran menandakan antusias masyarakat untuk menuntut keadilan dan hak yang belum terpenuhi.
  • IKON RELASIONAL
  1. Unit Visual : Hubungan batin yang terjalin antara Rafi dengan ibunya terlihat melalui ekspresi yang diperankan oleh keduanya. Ekspresi tersebut menandakan bahwa mereka berdua memiliki relasi sebagai pasangan Ibu dan anak.
  2. Unit Gerak : Gerakan Rafi ketika mencium tangan Ibunya menandakan kasih sayang  dan kekhawatiran Rafi sebagai anak.
  3. Unit Audio : Penyebutan Rafi ketika memanggil ibunya dengan kata ‘Ibu’ dan ‘Bu’.
  • IKON METAFORIS
  1. Unit Visual : Sosok Rafi yang membawa bambu mewakili keinginannya untuk melawan orang-orang yang telah menghancurkan wilayah tempat tinggalnya.
  2. Unit Gerak : 1) Tekanan genggaman tangan Rafi ke bambu menggambarkan luapan emosinya atas bencana yang terjadi di wilayahnya. 2) Gerakan Rafi ketika melempar bambu ke pusat semburan lumpur menandakan kekesalan Rafi.
  3. Unit Audio : 1) Suara keramaian yang jarang disajikan menandakan hampanya kehidupan di lokasi dekat bencana. 2) Suara puji-pujian dari Masjid mewakili harapan Rafi yang ingin hidup normal kembali.

Analisis Sosiologi Sastra

  1. SOSIOLOGI PENGARANG

Menurut Wellek dan Warren (1989: 111-112) hal-hal yang harus diperhatikan dalam menganalisis sosiologi pengarang adalah dasar pusat proses sastra tersebut diproduksi. Dasar tersebut bisa berupa latar belakang sosial, status pengarang, dan ideologi pengarang yang dapat dilihat dari berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra. Berkaitan dengan hal tersebut, maka sosiologi pengarang (sutradara) dapat dijabarkan sebagai berikut:

Berkaitan dengan latar belakang sosial dan status Danial Rifki lahir besar di Sidoarjo. Beliau juga merupakan warga Sidoarjo yang memahami problematika kasus Lumpur Lapindo yang menimpa desanya. Hal tersebut beliau akui sendiri saat diwawancara melalui pos elektronik. Latar belakang dan status tersebut kemudian diakumulasikan dengan ideologi Danial Rifki mengenai film “Anak-anak Lumpur yang digarapnya.

Setiap menggarap sebuah film, Danial Rifki selalu berpandangan bahwa “pelajaran dasar dari membuat film atau karya apapun adalah: buatlah cerita yang paling dekat dengan kamu”. Berdasarkan pandangan tersebut karena beliau adalah warga Sidoarjo yang memahami problematika yang terjadi kala itu, maka beliau mengangkat isu kemanusiaan dalam peristiwa Lumpur Lapindo.

Alasan Danial Rifki menggarap film ini dapat dipahami lewat pernyataan dari Ratna (2014: 100) dalam bukunya yang berjudul Stilistika: Kajian Puitika Bahasa, Sastra, dan Budaya mengenai alasan seorang pengarang menulis karya sastra. Pertama, Danial Rifki memiliki dorongan dari dalam, sebagai gejala psikologis untuk mengemukakan pendapat, ide, dan gagasannya mengenai problematik Lumpur Lapindo. Hal tersebut merupakan salah satu kemampuan Danial Rifki untuk mengadopsi masalah-masalah yang ada dalam lingkungannya.

Wellek dan Werren (1989: 110-111) menyatakan bahwa pengarang tidak bisa tidak mengekspresikan pengalaman dan pandangannya tentang hidup. Tetapi tidak benar kalau dikatakan bahwa pengarang mengekspresikan kehidupan secara keseluruhan, atau kehidupan zaman tertentu secara kongkret dan menyeluruh. Danial Rifki tidak menggarap film pendek “Anak-anak Lumpur” dengan cermin datar. Beliau menggarapnya dengan cermin cembung karena tercipta konflik yang sangat cepat dalam satu hari kejadian. Dalam film ini juga tercantum genre fiction yang menandakan bahwa naskah garapan Perdana Kartawiyudha adalah sebuah naskah fiksi. Namun, yang menjadikannya sebagai refleksi masyarakat adalah kenyataan-kenyataan yang melatarbelakangi terciptanya film tersebut. Isu-isu kemanusiaan yang memprihatinkan membuat pengarang menjadi seorang yang peka terhadap situasi sosial dan nasib kaum proletar.

2. SOSIOLOGI KARYA SASTRA

Naskah skenario film “Anak-anak Lumpur” merupakan sebuah cerminan peristiwa lumpur Lapindo yang menggambarkan situasi dan dampak yang diallami oleh korban di Sidoarjo. Naskah skenario film pendek “Anak-anak Lumpur” diilhami dari sebuah peristiwa semburan lumpur panas Lapindo di Sidoarjo. Hal tersebut disebutkan secara tersurat dalam aspek pementasan sinema “Anak-anak Lumpur”dr

Peristiwa tersebut terjadi tanggal 29 Mei 2006 di Dusun Balongnongo, Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, KAbuparen Sidoarjo, JAwa Timur, Indonesia. Kronologi kejadiannya diawali dengan menyemburnya gas dari pengeboran milik Lapindo Brantas pada pukul 05.00, dua jam kemudian semburan lumpur menyusul pada pukul 07.00

Film ini juga menampilkan kerusakan-kerusakan yang ditmbulkan dari luapan lumpur lapindo. HIngga film ini dproduksi (pada tahun 2009) tercatat ada 89 titik semburan liar, 640 hektar area dan 12 desa telah terendam Pencemaran Lingkungan Semburan gas lumpur panas Lapindo mengandung senyawa Polycylic Aromatic Hydrocarbons (PAH) yang berbahaya dan karsinogenik

Sebelum terjadinya peristiwa lumpur lapindo, masyarakat merasakan udara yang segar, sejuk, dan bersih. Namun, setelah terjadinya peristiwa lumpur lapindo udara di daerah Sidoarjo menjadi tercemar. Akibatnya, banyak masyarakat yang terjangkit ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut).

Film pendek “Anak-anak Lumpur” ini merangkum fakta tersebut sebagai berikut:

a. Penyakit
Filim pendek ini menyelipkan kondisi yang diderita oleh ibu Rafi. Penyakit asma yang dimiliki ibu Rafi menjadi semakin parah akibat kualitas udara yang memburuk.

b. Adanya Gejolak Protes Masyarakat
Peristiwa tersebut direlaisasikan dalam bentuk kegiatan demonstrasi yang menuntut atas nama HAM. Film ini merangkum beberapa kegiatan demonstrasi yang mengangkat isu pembayaran ganti rugi. Pada kenyataannya, sampai saat ini dan pada saat film ini diproduksi, warga Sidoarjo belum menerima ganti rugi secara keseluruhan. Sebagai korban, warga Sidoarjo merasa berhak diberi perhatian karena kecerobohan PT Lapindo Brantas.

c. Penyimpangan Moral

  • Kriminalitas
    Kriminalitas dalam film ini ditunjukkan dengan tindakan agresi dari warga Sidoarjo sendiri. Tindakan agresi itu berupa perusakan dan perampasan harta milik warga. Tindakan tersebut dicerminkan dalam tindakan penjarah yang mencuri batu bata rumah Wulan. Di Sidoarjo tindakan ini memang benar-benar terjadi.
  • Rusaknya Pola Pikir Masyarakat
    Sikap ini juga ditunjukkan dominan oleh penjarah rumah Wulan. Tindakan pencurian harta warga berupa batu bata adalah sebuah hasil dari proses berpikir yang salah. Upaya para penjarah untuk bertahan hidup mengalami penyimpangan, mereka sudah tidak peduli dengan hak kepemilikan warga Sidoarjo sehingga dengan mudahnya mencuri.
  • Friksi yang Diderita oleh Masyarakat
    Friksi dapat diartikan sebagai perpecahan. Sikap ini dapat ditemukan dalam perilaku ibu Yusman yang enggan menampung keluarga Rafi di rumahnya. Ibu Yusman mulai bersikap egois dengan hanya memperhatikan keluarganya saja.

3. SOSIOLOGI PEMBACA

Berkaitan dengan ideologi pengarang yang disampaikan dalam analisis sosiologi pengarang, maka analisis sosiologi pembaca ini merupakan salah satu media yang menyimpan tujuan Danial Rifki menggarap film pendek “Anak-anak Lumpur”. Untuk mengetahui bagaimana nilai-nilai sosial yang terdapat dalam film pendek ini, perlu adanya pendekatan terhadap hubungan sastra dan masyarakat.

Film pendek “Anak-anak Lumpur merupakan sebuah dokumen sosial yang berguna sebagai potret kenyataan sosial di masyarakat yang menghidupi fil tersebut. Kesimpulan tersebut sejalan dengan pernyataaan Wellek dan Warren dalam bukunya yang berjudul Teori Kesusastraan ynag menyatakan bahwa karya sastra adalah sebuah dokumen sosial. Latar yang disajikan dalam film pendek ini berawal dari pandangannya kala setiap membuat film, yaitu “buat karya yang paling dekat” dalam konteks ini adalah Sidoarjo karena Danial Rifki adalah warga Sidoarjo.

Potret sosial tersebut kemudian akan mengarahkan pembaca untuk memaknai film pendek “Anak-anak Lumpur”. Nilai-nilai sosial yang terdapat dalam film ini meliputi:

  • Film ini disajikan sebagai sebuah sindiran bagi para penguasa yang lalai mengolah lingkungan sehingga mengakibatkan penderitaan pada rakyat kecil.
  • Film ini juga menyampaikan kritik bagi pemerintah yang dinilai lamban dalam mengantisipasi bencana. Pemerintah lebih fokus untuk menangani luapan lumpur dibandingkan dengan keselamatan masyarakat. Dari sebuah artikel yang saya baca, pemerintah lebih fokus mengeluarkan biaya untuk mengerahkan tenaga eskavator di lapangan. Padahal, masyarakat perlu diperhatikan, pemerintah seharusnya mengerahkan masyarakat untuk mengungsi dan meninggalkan tempat bencana agar keselamatan masyarakat terjamin. Hal tersebut diekspresikan dalam naskah skenario dan filmnya, yaitu dengan adanya demonstrasi warga di sekitar tanggul lumpur lapindo.

Leave a comment