Tulisanku adalah Pedangku – Sebuah Cerpen

Aku berbaring dalam balutan angin
Berlari mengejar angan
Terjatuh ke dalam lautan semu
Dan, terkubur ke dalam kerikil asa..

Sekelebat bayangan muncul di hadapanku, di mulut pintu yang menganga. Disana berdiri sesosok wanita berambut panjang yang tersenyum getir ke arahku. Memandang dengan benci dan penuh sangsi dalam remang-remang cahaya lampu meja.
“Sampai kapan?” Tanyanya dengan nada datar tak mengekspresikan apapun. Aku hanya menganggukkan pundak dan kembali melanjutkan kegiatanku.

Terjebak
Ini bukanlah jalan yang ku mau
Kemana angan-angan yang berkilauan itu?
Dan, tempat macam apa ini?…

Suara pukulan menggema di telingaku, aku memutar bola mata dan mendapati kepalan tangan di atas meja.
“Apa yang Kak Siena mau?” Tanyaku setelah sekian lama memendamnya.
“Sampai kapan kau akan mematung disini setiap hari?”
“Apakah ada yang salah?”
“Puisi ini!” Nada bicaranya mulai meninggi sambil menunjuk ke arah kertas yang ada di hadapanku.

“Apa yang akan kau hasilkan dengan membuat puisi ini? Jika kau terus menulis  puisi-puisi ini apakah kau berpikir akan menjadi seorang Insinyur seperti yang kau mau? Kau tidak akan mendapatkan gelar itu semudah mengedipkan mata matamu!” Ia mencengkeram kedua kepalan tangannya di atas meja, urat nadinya timbul pertanda ia sangat keras kepala. Aku bangkit dari posisi dudukku.

“Ini hidupku kak. Viena yang menentukan kapan aku harus melanjutkan pendidikanku. Aku yang merasakan, aku yang merasakan sebab akibatnya. Aku memang ingin menjadi seperti kakak, dibanggakan oleh Ayah dan Bunda, disanjung oleh banyak orang, tapi aku tidak akan mengambil jalan yang kakak beri, aku akan mencari jalanku sendiri” Aku mengulurkan tangan ke arah saklar yang menempel di dinding, lampu kamarku menyala. Akhirnya aku bisa melihat wajah kakakku yang keras kepala.
“Kesempatan tidak akan datang dua kali Viena” Aku tak tahan dengan semua perkataannya, aku terus memelototinya, tak tahu harus berkomentar apa lagi. Tahu-tahu tangan Kak Siena menyentuh buku-buku yang bersisi semua karyaku, mengambil sebuah buku berwarna hijau dan membaca beberapa kata yang tertulis disana, kemudian tersenyum sinis ke arahku dan membacakan sesuatu.

Tak ada binatang di sekitar hulu
Banyak kebun dengan pohon durian
Tak ada orang yang menyesal dahulu
Banyak orang menyesal kemudian

Sebelum pergi, Kak Siena membanting buku yang terbuka itu ke hadapanku, aku meraihnya dan diam mematung. Tulisan ini adalah pedangku, dan pedang yang telah menusuk diriku sendiri. []


Leave a comment